Beranda | Artikel
Jangan Kau Cela Sahabat Nabimu
Jumat, 16 Desember 2011

Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Rabbul ‘Alamin. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam.

Agama adalah Nasihat

Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkan dari sahabat Abu Rayyah Tamiim bin Aus Ad Daariy rodhiyallahu ‘anhu,

« الدِّينُ النَّصِيحَةُ » قُلْنَا لِمَنْ قَالَ « لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ »

Agama adalah nasihat. Kami (para sahabat bertanya), “Kepada siapa wahai Rosul?” Beliau menjawab, “Kepada Allah, KitabNya, RasulNya, Penguasa Kaum Muslimin dan Kaum Muslimin secara umum”[1].

Para ulama menafsirkan tentang yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dalam hadits ini. Salah satu penafsirannya adalah mengingikan kebaikan untuk orang yang dinasihati (إِرَادَةُ الْخَيْرِ لِلْمَنْصُوْحِ لَهُ)[2]. Maka inilah yang menjadi dasar dan tujuan kami menuliskan tulisan ini, mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla menjaga niat kami.

Pengertian Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam

Al Hafidz Abul Fida’ ‘Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Ad Dimasyqiy Asy Syafi’i rahimahullah (terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir) mengatakan,

والصَّحَابِيُ: مَنْ رَأَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ حَالِ إِسْلَامِ الرَّاوِي، وَإِنْ لَمْ تَطُلْ صُحْبَتُهُ لَهُ، وَإِنْ لَمْ يَرْوِ عَنْهُ شَيْئاً.هَذَا قَوْلُ جُمْهُوِر الْعُلَمَاءِ، خَلَفاً وَسَلَفاً

“Sahabat adalah orang yang melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam dan ia dalam keadaan islam, walaupun masa kebersamaannya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam tidak dalam jangka waktu yang lama, walaupun ia tidak meriwayatkan satu haditspun. Inilah pengertian sahabat menurut mayoritas ulama terdahulu maupun belakangan”[3].

Sedangkan Al Hafizh Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar Al Asqolaniy Asy Syafi’i rahimahullah (terkenal dengan Ibnu Hajar Al Asqalaniy) mengatakan,

مَنْ لَقِيَ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَ عَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مُؤْمِنًا بِهِ وَ مَاتَ عَلَى الْإِسْلَامِ وَلَوْ تَخَلَّلَتْ رِدَّةٌ فِيْ الْأَصَحِّ

“Orang yang bertemu Nabi Shallallahu Ta’ala ‘Alaihi wa ‘Ala Alihi wa Sallam dalam keadaan berimman kepadanya dan mati dalam keadaan islam walau diantarai dengan kemurtadan (yaitu diantara bertemu Nabi dan kematiannya dalam islam) menurut pendapat yang paling kuat”[4].

Secara umum inilah pengertian sahabat menurut para ulama’. Allahu a’lam pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat kedua adalah pendapat yang lebih kuat sehingga Abdullah bin Ummi Maktum dan Al Asy’ats bin Qois rodhiyallahu ‘anhuma.

Keutamaan Para Sahabat

Salah satu gambaran yang dapat memberikan kepada kita tentang keutamaan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam adalah pertanyaan berikut. Ketika ummat selain islam ditanya, “Siapakah manusia yang paling mulia setelah para Nabi?” Maka kemungkinan besar jawaban mereka adalah para sahabat Nabi atau orang-orang yang menjadi murid Nabi. Maka seandainya hal ini saja kita renungkan maka sudah mencukupi insya Allah.

Namun Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam adalah orang yang paling kasih sayang kepada ummatnya dan orang yang mendapat kabar dari Allah tentang hal yang akan terjadi pun telah mempertegas hal ini. Seakan-akan beliau hendak mengabarkan kepada kita bahwa kelak ada sekelompok orang yang akan membenci para sahabatnya rodhiyallahu ‘anhum. Beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Manusia yang paling baik adalah (manusia pada) kurun waktuku (para sahabat), kemudian orang-orang setelah mereka (tabi’un) kemudian orang setelah mereka (tabi’ut tabi’in)”[5].

Jika kita menulusuri kitab-kitab hadits maka akan sangat banyak kita temukan hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan para sahabat secara umum dan personal mereka secara khusus.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang para sahabat yang menunjukkan betapa kedudukan mereka di sisi Allah ‘Azza wa Jalla,

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshor (yaitu para sahabat Perang Badar atau Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam seluruhnya)[6] dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS. At Taubah [9] : 100).

Seandainya tidak ada ayat yang lain dan hadits lainnya maka tidak berlebihan jika kita mengatakan cukuplah dalil dari ayat dan hadits di atas yang menunjukkan betapa agungnya kedudukan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan agama ini.

Keyakinan Ahlus Sunnah tentang Para Sahabat

Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i rahimahullah yang terkenal dengan sebutan Imam Syafi’i (150-204 H) mengatakan,

“Tidaklah aku melihat orang yang tertimpa musibah berupa mencaci para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melainkan Allah akan tambahkan kepada mereka (para sahabat) pahala di saat telah terputusnya amal mereka”. Dalam sebuah riwayat dari Ar Robi’ yang maknanya “Melainkan Allah akan ganjar mereka (para sahabat) dengan kebaikan meskipun mereka telah mati”[7].

Beliau juga mengatakan, “Manusia yang paling utama setelah kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam adalah Abu Bakar kemudian ‘Umar kemudian ‘Utsman kemudian ‘Ali ridwanullah ‘alaihim”[8].

Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah Al Azdiy Ath Thohawiy rahimahullah (239-321 H) mengatakan, “Kami (Ahlus Sunnah) mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam. Kami tidak berlebih-lebihan salah seorang dari mereka dan tidak membenci salah seorang dari mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan tidak menyebut kebaikan orang-orang yang membenci mereka ketika menyebut nama orang-orang yang membenci mereka. Kami tidaklah menyebut-nyebut sahabat melainkan hanya dengan kebaikan-kebaikan mereka. Mencintai mereka merupakan bagian dari agama, iman dan ihsan sedangkan membenci mereka merupakan bagian dari kekafiran, kemunafikan dan perbuatan melampaui batas yang ditentukan syari’at”[9].

Seorang ulama ahlus sunnah wal jama’ah Imam Abu Utsman Isma’il bin Abdir Rahman Ash Shabuni Asy Syafi’i rahimahullah (373-449 H) mengatakan,

“Para Ashabul Hadits (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) bersaksi dan meyakini bahwasanya sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam yang paling utama adalah Abu Bakar kemudian setelahnya ‘Umar kemudian setelahnya ‘Utsman kemudian setelahnya ‘Ali dan mereka semua adalah khulafaur rosyidun yang Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam sebutkan tentang kekhalifan mereka sebagaimana yang diriwayatkan Sa’id bin Jamhan dari Safinah (budak Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam) “Khilfah setelahku tiga puluh tahun…”[10].

Maka cukuplah perkataan imam-imam di atas menjadi penjelas bagi kita tentang bagaimana aqidah ahlus sunnah terhadap para sahabat.

Keyakinan Ahlus Sunnah tentang Kekhalifahan Abu Bakar

Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Abu Bakar adalah khalifah (pengganti) Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan ‘amil setelah wafatnya beliau”[11]. Beliau juga mengatakan, “Kekhalifahan Abu Bakar adalah sebuah kebenaran yang Allah tentukan dari atas langit yang ke tujuh”[12].

Hukum Membenci Para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam

Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkan Abu Sa’id Al Khudri rodhiyallahu ‘anhu,

كَانَ بَيْنَ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ وَبَيْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ شَىْءٌ فَسَبَّهُ خَالِدٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِى فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ »

Dahulu terjadi sesuatu hal antara Kholid bin Walid dan Abdur Rohman bin ‘Auf. Kemudian Khalid bin Walid mencaci Abdur Rahman bin ‘Auf”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci salah seorang dari sahabatku karena seandainya seseorang dari kalian berinfaq dengan emas seukuran Gunung Uhud maka (pahalanya) tidak dapat menyamai infaq para sahabatku dengan ukuran 1 mud (takaran untuk dua gengaman tangan normal) ataupun setengahnya”[13].

Tidak diragukan lagi bahwa kedua orang di atas yaitu Khalid bin Walid dan Abdur Rahman bin ‘Auf adalah dua orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang mulia. Namun suatu hal yang juga tidak diragukan bahwa Abdur Rahman bin ‘Auf memiliki kemulian yang lebih karena ia lebih dahulu masuk islam daripada Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhuma. Namun walaupun kedudukan yang mulia yang dimiliki Khalid bin Walid sebagai sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam beliau melarang keras mencela sahabat Nabi yang lebih dahulu masuk islam padahal mereka berdua adalah orang-orang yang diridhai Allah dan mereka ridho kepada Allah. Maka bagaimanakah lagi kerasnya larangan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam kepada oranng-orang yang jauh berada di bawah Sahabat Khalid bin Walid yang jasanya sangat besar dalam islam dan penyebaran agama ini ?! Selannjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam memisalkan jika seandainya Khalid bin Walid berinfaq emas sebesar Uhud maka pahalanya tidak akan melampaui pahala infaq Abdur Rahman bin ‘Auf walaupun dengan satu mud ataupun setengahnya infaq beliau. Para ulama berselisih pendapat infaq 1 mud apa yang dimaksud, ada yang mengatakan emas dan ada yang mengatakan makanan pokok, namun yang lebih kuat adalah makanan pokok karena yang ditakar dengan mud adalah makanan pokok bukan emas[14].

Berdasarkan hadits di atas dan hadits-hadits lainnya dan ayat-ayat Al Qur’an para ulama menetapkan hukum mencaci para sahabat. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Larangan ini menunjukkan konsekuensi hukum haram. Maka seseorang tidak boleh mencela sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara umum dan secara khusus personal mereka. Jika dia mencela para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara umum maka ia telah kafir bahkan tidaklah diragukan kafirnya orang yang meragukan kekafiran orang yang semisal ini. Adapun jika ia mencaci salah seorang atau para sahabat secara personalnya maka dilihat apa yang menjadi faktor pendorongnya. Jika ia mencacinya karena alasan bentuk tubuhnya, tabiatnya atau agamanya maka masing-masing hal ini memiliki konsekuensi hukum tersendiri”[15].

Dalam kesempatan lain beliau rahimahullah pernah ditanya sebuah pertanyaan apakah kita mengkafirkan orang-orang yang mencela para sahabat, maka beliau memberikan jawaban sebagai berikut,

“Permasalahan pengkafiran mereka ataupun tidak mungkin saja terjadi pada mereka dari sisi yang lain yang jauh lebih besar dari perkara mencela para sahabat. Karena sebagian mereka yang sangat parah kesesatannya mengatakan bahwa para imam mereka adalah yang mengatur alam semesta padahal yang benar Allah ‘Azza wa Jalla lah yang mengaturnya. Mereka mengatakan para imam mereka mampu mengatur alam semesta. Mereka juga mengklaim bahwa sebagian imam mereka berada pada tingkatan yang tidak mampu dicapai malaikat dan para Nabi. Maka keyakinan semisal ini adalah sebuah hal yang lebih parah daripada sekedar mencela para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam”[16].

Syaikh Prof. DR. Ibrahim Ar Ruhailiy hafidzahullah mengatakan, “Adapun masalah pengkafiran mereka (Syi’ah Rafidhah yang gemar mencaci maki para sahabat terutama Abu Bakar dan ‘Umar –ed.) maka hal ini telah disebutkan Syaikhul Islam bahwa para ulama memiliki dua pendapat yang terkenal seputar pengkafiran mereka dan khowarij. Kemudian Syaikhul Islam mengatakan, “Yang benar bahwa pendapat-pendapat yang mereka katakan yang diketahui bahwa semua itu bertentangan dengan ajaran yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam merupakan kekufuran. Demikian juga tindakan-tindakan mereka yang merupakan jenis perbuatan orang-orang kuffar kepada kaum muslimin juga merupakan bentuk kekufuran….. Akan tetapi mengkafirkan individu tertentu dari mereka dan memberikan vonis kekal di neraka tergantung pada apakah telah benar-benar tegak pada mereka syarat-syarat pengkafiran dan tidak adanya faktor yang memalingkannya”[17].

Sebagai tambahan agar kita lebih takut dan menjaga lisan kita dari perbuatan mencaci para sahabat kami sampaikan penutup sebagai berikut.

Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda,

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا الْلَعَّانِ وَلَا الْفَاحِش وَلَا الْبَذِى

Bukanlah orang yang beriman orang yang suka mencela, orang yang suka melaknat, orang yang fahisy (sengaja menambah kata-kata keji dan melakukan perbuatan keji) dan orang yang tidak punya malu”[18].

Hadits ini ditujukan umum kepada kaum muslimin yang mencela muslim lainnya. Lalu bagaimana jika yang dicela adalah orang-orang yang senantiasa bersama Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam ?! Laa Hawla wa Laa Quwwata Illabillah !!

Sigambal, Setelah Subuh 07 Muharram 1432 H / 03 Desember 2011

Mau punya sahabat dunia akhirat? Baca artikel berikut ini.

Penulis: Aditya Budiman bin Usman
Artikel muslim.or.id

 


[1] HR. Muslim no. 55.
[2] Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah oleh Syaikh Sholeh bin Abdul Aziz Alu Syaikh hal. 125 terbitan Darul Mustaqbal, Mesir.
[3] Lihat Ba’itsul Hatsits oleh Ibnu Katsir dengan tahqiq Syaikh Ali bin Hasan Al Halabiy hal. 491/I terbitan Maktabah Ma’arif Riyadh.
[4] Lihat An Nukat ‘ala Nuzhatun Nadzor oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy dengan tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hal. 149 terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh.
[5] HR. Bukhori no. 3651 dalam Bab Keutamaan Para Sahabat Nabi.
[6] Lihat Tafsir Jalalain
[7] Lihat Manaqib Asy Syafi’i oleh Al Baihaqi hal. 331/I.
[8] Idem hal. 433/I.
[9] Lihat Syarh Aqidah Thohawiyah oleh Ibnu Abil ‘Izz dengan tahqiq DR. ‘Abdullah At Turkiy dan Syu’aib Al Arnauth ha. 704/II, terbitan Mu’asasah Risalah, Beirut Lebanon.
[10] Lihat Aqidatus Salaf wa Ashabul Hadits oleh Abu ‘Utsman Ash Shobuni dengan tahqiq DR. Nashir bin ‘Abdur Rohman hal. 289 terbitan Darul ‘Ashimah, Riyadh, KSA.
[11] Lihat Manaqib Asy Syafi’i oleh Al Baihaqi hal. 434/I.
[12] Idem hal. 435/I.
[13] HR. Bukhori no. 3673 dan Muslim no. 2541 dan redaksi ini milik Muslim.
[14] Disarikan dengan perubahan redaksi dari Syarh Aqidah Wasitiyah oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin hal. 460, terbitan Dar Ibnu Jauziy, Riyadh, KSA.
[15] Sumber Idem hal. 461.
[16] Lihat Syarh Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin yang ditakhrij oleh Muhammad Samih hal. 293 terbitan Darul Qudsi.
[17]Lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’ oleh Syaikh Prof. DR. Ibrohim Ar Ruhailiy hal. 147/I terbitan Maktabah al Uluw wal Hikam, Madinah, KSA.
[18] HR. Ahmad no. 404/I, Tirmidzi dalam Kitab al Bir washilah Bab Maa Ja’a fil La’nah no. 1977, Ibnu Majah no. 192, al Hakim no. 12/I dan Al Bukhori dalam Adabul Mufrod no. 312 dan dinilai shohih oleh Al Albani.


Artikel asli: https://muslim.or.id/7704-jangan-kau-cela-sahabat-nabimu.html